Memiliki
pasangan hidup, membina rumah tangga, membesarkan anak kemudian hidup bahagia
adalah impian semua orang…. Ternyata tidak semua orang. Di beberapa negara
khususnya negara maju, menikah dan membangun hidup berkeluarga bukanlah
prioritas utama. Sangat berbeda bukan dengan Indonesia? Kalau di Indonesia,
kemana pun kaki dipijak yang pertama ditanyakan adalah “Sudah menikah?”, “Anaknya
sudah berapa?”, sehingga membuat para jomblo di Indonesia punya 1001 macam cara
ampuh menghindari pertanyaan semacam tadi.
Di
Indonesia, kita masih memegang teguh nilai-nilai agama yang kuat yang
menganjurkan untuk menikah dan dijamin bahwa semakin banyak anak maka rejeki
pun mengalir semakin banyak, karena tiap anak telah membawa rejekinya
masing-masing. Sangat kontras dengan negara di luar sana yang menganggap
berbeda bahwa pernikahan dan membesarkan anak membutuhkan biaya yang jauh lebih
tinggi dibanding hidup sendiri, dan mungkin beberapa alasan lainnya.
Di
beberapa negara maju, tingkat kaum jomblo justru meningkat. Ada berbagai alasan
mengapa pria/wanita memutuskan untuk masih melajang di usia yang matang. Namun,
tingginya jumlah kaum jomblo dan rendahnya angka kelahiran harus membuat pemerintah
setempat memutar otak agar populasi penduduk menjadi seimbang dan merata.
Berikut ini negara
yang penduduknya kebanyakan jomblo dan alasan mengapa mereka lebih betah hidup
sendiri dibanding memiliki pasangan hidup.- Rusia. Negara Rusia memiliki luas wilayah sekitar 17.075.400 km2 dimulai dari Eropa bagian timur dan juga Asia di bagian utara. Wilayahnya sangat luas bila dibandingkan dengan Tiongkok maupun Amerika Serikat. Memiliki wilayah yang sangat luas, komposisi penduduk di negara ini sangat tidak seimbang. Jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pria. Setidaknya sekitar 10 juta kaum wanita atau kurang lebih 25% dari total penduduk Rusia masih berstatus Jomblo. Karena tingginya jumlah penduduk wanita yang masih Jomblo membuat para gadis Rusia mencari laki-laki dari negara lain.
- Kanada. Negara Kanada menjadi salah satu negara yang paling ingin ditinggali dilihat dari segi harapan hidup, tingkat buta huruf, pendidikan dan standar hidupnya yang memiliki index yang cukup tinggi dari seluruh dunia. Namun demikian, populasi penduduk di Kanada tidaklah seimbang. Dari jumlah penduduk sebanyak 35 jutaan, 26% diantaranya masih berstatus jomblo. Alasan mengapa banyak jomblo di Kanada adalah gaya hidup mandiri yang banyak diterapkan oleh masyarakat di sana. Bahkan, pria yang bercerai atau ditinggal mati istrinya, enggan untuk menikah lagi.
- Amerika Serikat. Data dari Pew Report tahun 2014 mengungkap bahwa satu dari empat orang dewasa yang usianya mencapai hingga 50 tahun di Amerika memilih untuk melajang. Setidaknya, dari 316 juta penduduk, sekitar 28% hidup sendiri. Salah satu peneliti dari University of California santa Barbara AS, Bella DePaulo menjelaskan bahwa moral yang semakin buruk menjadi alasan banyak orang memilih tidak menikah. Selain itu ada beberapa alasan lainnya yang membuat pria di Amerika Serikat takut untuk menikah antara lain karena anggapan bahwa menikah membuat mereka kehilangan teman, kehilangan ruang pribadi, kehilangan kebebasan, bahkan dikatakan bahwa perceraian membuat mereka kehilangan uang dan anak karena pengadilan cenderung memenangkan pihak wanita.
- Italia. Negara ini dicap sebagai negara yang memiliki nilai romantisme tinggi namun miris karena ternyata tak sedikit warganya yang masih betah melajang. Sekitar 29% penduduknya yang berusia dewasa masih jomblo. Penyebabnya adalah adanya krisis ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi membuat orang Italia berpikir lagi untuk menikah karena harus mengadakan pesta pernikahan yang menguras biaya.
- Jepang. Jepang saat ini sedang mengalami krisis kependudukan akibat rendahnya minat penduduknya untuk menikah. Salah satu alasan kuat mengapa orang jepang enggan menikah karena tujuan hidup mereka adalah bekerja dan bekerja sehingga sulit menyempatkan waktu untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis.Alasan lainnya adalah biaya hidup di Jepang sangat tinggi, sedangkan untuk mendapatkan pekerjaan tetap sangat sulit. Wanita di Jepang cenderung memilih mengejar karir dibandingkan menikah dan menjaga anak. Sedangkan pria di Jepang tidak menginginkan istrinya bekerja secara full time. Hal inilah yang membuat pernikahan sulit terjadi di negara yang menjadi kiblat teknologi dunia ini.
- Inggris. Negara maju lainnya yang memiliki presentasi jomblo terbanyak adalah Inggris dengan 34% dari jumlah penduduknya. Data dari Badan statistik Nasional mengungkapkan bahwa di tahun 2015, hanya setengah dari populasi yang berusia di atas 16 tahun yang menikah. Penyebabnya adalah gaya hidup di Inggris yang membolehkan pasangan belum menikah bisa tinggal bersama. Selain itu tingkat perceraian yang tinggi membuat trauma bagi sebagian penduduknya, apalagi biaya hidup sangat tinggi membuat mereka memutuskan untuk hidup sendiri. Di Inggris, pemerintahnya justru memberikan tunjangan bagi masyarakatnya yang pengangguran dan masih melajang. Hmmm…. Alasan yang makin tepat nih untuk hidup sendiri.
- Swedia. Didaulat sebagai negara yang paling makmur tidak lantas membuat penduduknya berbondong-bondong untuk menikah. Justru sebaliknya, sekitar 47% penduduk berusia matang masih memilih hidup sendiri. Tingkat perceraian di Swedia juga paling tinggi di Uni Eropa. Hal ini mungkin disebabkan karena biaya perawatan anak memiliki banyak subsidi dari pemerintah sehingga wanita tidak perlu bergantung pada pasangannya. Hubungan percintaan di Swedia tidak konvensional seperti negara dengat adat ketimuran. Di Swedia, siapapun bisa memiliki anak tanpa menikah.
Solusi Pemerintah Mengatasi Tingginya Kaum Jomblo
- Rusia memunculkan wacana untuk melegalkan poligami. Hal ini dilakukan untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran bayi. Pemerintah Rusia juga memberikan reward bagi keluarga yang melahirkan anak. Reward diberikan sampai anak kedua sebesar 300.000 rubel.
- Jepang mengeluarkan kebijakan hak cuti melahirkan untuk suami dan meningkatkan gaji dasar untuk pekerja wanita agar penduduknya mau menikah
- Swedia memberikan banyak subsidi untuk perawatan anak salah satunya, biaya penitipan anak yang sangat terjangkau. Selain itu, orang tua baru mendapatkan cuti selama 480 hari dan tetap mendapatkan bayaran sebesar 80% dari gaji. Fasilitas publik seperti perpustakaan, gym, dan bioskop memiliki program ibu dan anak dan ruang menyusui serta ruangan mengganti popok.
Komentar
Posting Komentar